Minggu, 10 Mei 2009

Mengetes keperawanan di sukuh, candi peninggalan raja terakhir majapahit


Setelah melewati terminal karangpandan, hawa pegunungan yang sejuk mulai terasa, awan hitam yang menggelayut di langit mulai menampakkan curahan air hujan walau rintik-rintik, setelah setengah kilo berkendara terlihat sebuah gapuro bertuliskan “kawasan wisata cetho-sukuh”.

Akan tetapi perjalanan masih jauh, masih sekitar empat kilometer lagi untuk sampai di kawasan kompleks Candi Sukuh. Candi ini sendiri terletak di dusun sukuh, desa gerjo, ngargoyoso, Karanganyar, pada ketinggian 1.186 mdpl (meter dari permukaan laut) kawasan Candi Sukuh masih satu kawasan dengan Candi Cetho yang terletak 4 kilo diatas sukuh.

Dari Solo, total perjalan membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam karena jaraknya yang lumayan jauh, yaitu sekitar 50 kilometer timur kota solo melewati jalan raya solo-tawangmangu.

Candi hindu ini adalah peninggalan Prabu Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Majapahit. Majapahit dulunya adalah kerajaan besar yang menyatukan nusantara, sampai pada daerah yang kita kenal sekarang dengan sebutan negara Malaysia dan Singapura. Akan tetapi seperti manusia, sebuah kerajaan juga mengalami lahir, tumbuh, besar, dan akhirnya mati.
Kerajaan Majapahit juga tak luput dari hal itu, kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya ini, setelah era keemasannya di bawah kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, perlahan mulai mati dan runtuh.

Ada beberapa hal yang membuat kerajaan ini runtuh, mulai dari meninggalnya Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang sulit dicari penggantinya, adanya perang saudara, dan yang terakhir adalah munculnya Kerajaan Demak Bintoro sebagai kerajaan islam yang perlahan meruntuhkan Majapahit.

Prabu Brawijaya V sebagai raja terakhir dari kerajaan ini, akhirnya melarikan diri jauh dari istananya sampai ke Gunung Lawu, karena merasa terdesak oleh kerajaan Demak yang dipimpin oleh anaknya sendiri Raden Patah. Di gunung lawu inilah sang prabu dipercaya moksa (menghilang) dan meninggalkan beberapa petilasan-petilasan yang masih sering dikunjungi oleh masyarakat sampai sekarang ini. Salah satunya candi sukuh dan candi cetho.

Kesusu waton bakuh

Candi sukuh sendiri ditemukan pada tahun 1815 semasa pemerintahan Gubernur Jendral Thommas Standford Raffles. Waktu itu, ia menyuruh residen surakarta untuk mencari ada tidaknya sebuah candi di kawasan karesidenan surakarta sebagai bahan tulisan untuk bukunya “The History of Java”.
Sedangkan nama sukuh sendiri dari kerthabasanya memiliki 3 arti, yang pertama, “kesusu waton bakuh” atau tergesa-gesa asalkan kuat. Hal ini menurut pak sarjono petugas dari dinas pariwisata kabupaten karanganyar dikarenakan sang prabu dalam kondisi melarikan diri, sehingga hanya bisa membuat sebuah tempat ibadah untuk ritual keagamaan secara sederhana dan tergesa-gesa, tidak mungkin membuat sebuah tempat ibadah yang fenomenal seperti Candi Borobudur atau Prambanan.“Karena dalam kondisi melarikan diri, candi ini dibuat ‘kesusu’ (tergesa-gesa) asalkan ‘bakuh’ (kuat)”. Kata pak sarjono. Hal ini nampak dari bentuk bangunannya yang sederhana, hanya 3 teras, dan relief-relief yang ada di dalam candi. “ Relief-relief yang ada di dalam candi dibuat bukan oleh seorang yang ahli atau mpu ukir, akan tetapi oleh rakyat biasa yang dinilai mampu untuk memahat relief, sehingga terlihat kasar dan sederhana” tambahnya lagi.
Arti nama sukuh yang kedua adalah, “su” (lebih) dan “kuh” ( kuat), jadi candi ini dibuat asal kuat sebagai tempat beribadah. Dan arti nama sukuh yang ketiga, berasal dari bahasa jawa “suku” yang berarti kaki, karena letaknya yang berada di kaki gunung lawu.
Candi Sukuh sendiri dibangun sekitar abad 15 M pada masa-masa keruntuhan majapahit, hal ini terlihat dari reliefnya di gapuro pertama, berupa raksasa yang sedang memakan manusia atau “gapuro butho aban uwong” yang dalam sengkalan jawa menunjukkan tahun 1359 saka atau sekitar 1447 M.
Kompleks candi ini terdiri dari 3 teras, teras pertama atau “njobo” terdapat gapuro yang disebut Paduraksa atau Cangapit. Di gapuro ini terdapat relief di kanan dan kiri gapuro yang menunjukkan tahun pembuatan candi yaitu “gapuro butho aban uwong” di gapuro sebelah kiri, dan “gapuro butho anahut bunthut” yaitu gambar raksasa yang sedang memakan ekor di gapuro sebelah kanan. Kedua relief ini seperti penjelasan diatas menunjukkan tahun 1359 saka.
Selain kedua relief di gapuro pertama ini, terdapat juga sebuah relief di lantai gapuro, berupa “lingga” (alat kelamin laki-laki) yang melambangkan dewa siwa dan “yoni” (alat kelamin wanita) yang melambangkan dewi durgha, dilingkari oleh sebuah rantai emas atau “wiworo wiyoso anahut jalu”.
Relief ini sendiri melambangkan kesuburan, atau dapat juga diartikan, bahwa seorang anak lahir di dunia ini karena ayahnya, dalam hal ini dilambangkan dengan “lingga” bertemu dengan ibunya, yang dilambangkan dengan “yoni” dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci, yang digambarkan berupa sebuah rantai emas yang melingkari lingga dan yoni.
Selain filosofi tersebut terdapat sebuah mitos tentang relief ini, konon menurut sejarah, gapuro ini merupakan sebuah tempat untuk mengetes keperawanan seorang wanita pada zaman dahulu kala.
Mitosnya, apabila seorang wanita akan menikah, ia disuruh berjalan melewati relief ini, jika stagen atau kain yang melilit pinggangnya lepas, menurut mitos tadi wanita tersebut sudah tidak perawan lagi. Akan tetapi apabila kembennya yang merosot, dipercaya bahwa kelak setelah menikah, wanita ini suka selingkuh.
Akan tetapi sekarang gapuro ini sudah ditutup untuk menjaga agar relief yang berada di gapuro ini tidak rusak. Dan untuk pengunjung yang ingin masuk kompleks area candi, terdapat sebuah jalan setapak yang berada disebelah kanan gapuro.
Di teras pertama ini selain gapuro, terdapat juga beberapa relief di area ini, seperti relief sapi, gajah, celeng (babi liar), dan relief seorang pangeran yang sedang menunggan kuda. Terdapat pula beberapa buah pondasi dari batu yang diperkirakan dulu merupakan pondasi sebuah bangunan atau pendopo.
Di teras kedua terdapat gapuro yang disebut Selomatangkep, di teras kedua atau “njobo tengah” ini, terdapat 2 buah patung garuda yang sudah tidak sempurna lagi karena telah hilang kepalanya. Sedangkan di teras ketiga terdapat bangunan utama candi atau “njeron”. Di teras inilah bangunan candi utama berada, yaitu berupa bangunan segi empat setinggi kira-kira 10 meter yang mirip dengan piramida pada kebudayaan maya di peru.
Seperti Candi Borobudur, di sekeliling bangunan utama Candi Sukuh juga terdapat banyak relief dan patung yang menceritakan beberapa kisah di pewayangan. Seperti peristiwa ruwatan Raden Sadewa, satria termuda pandawa lima, ada juga cerita tentang Garuda yang menyelamatkan ibunya Dewi Witara dari perbudakan Dewi Kadru ibu para ular dan naga.
Ada sebuah relief menarik yang menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia. Relief tersebut, berbentuk seperti rahim wanita yang didalamnya terdapat gambar relief Bethara Guru yang melambangkan Tuhan, berhadap-hadapan dengan Bima seorang kesatria pandawa yang berhati suci. Yang melambangkan bahwa manusia itu diciptakan Tuhan dalam keadaan suci.
Kemudian terdapat relief seorang ibu yang sedang menyusui anaknya, yang berarti bahwa, seorang anak, pertama kali merasakan kasih sayang dan pendidikan itu dari ibunya. Yang terakhir dari relief tersebut adalah, gambar relief seorang bayi yang sedang diperebutkan oleh dua orang, yang melambangkan bahwa setelah dewasa manusia itu menjadi rebutan antara hal baik dan hal jahat.
Di depan candi utama, terdapat tiga buah meja batu berbentuk kura-kura yang berukuran besar sebagai tempat sesaji dalam beribadah. Di sampingnya, ada sebuah bangunan berbentuk segi empat menyerupai tugu dengan sebuah patung di tengahnya. Bangunan itu disebut candi Perwara, yang merupakan makam Eyang Sukuh atau Kipojiro. Dia merupakan juru kunci candi yang ditunjuk langsung oleh Prabu Brawijaya V.
Untuk mencapai puncak candi pengunjung harus ekstra hati-hati, karena tangga yang ada hanya bisa dilewati oleh satu orang dengan jarak anak tangga yang lumayan tinggi. Di puncak candi, diperkirakan pada jaman dahulu terdapat sebuah bangunan atau pendopo, hal ini karena terdapat beberapa pondasi berlubang tempat untuk mendirikan tiang sebuah bangunan.
Candi sukuh sendiri mulai dipugar dan direnovasi pada tahun 1917, dan diresmikan pada tahun 1982 oleh Dr. Daud Yusuf Mendikbud pada masa itu. renovasi sendiri meliputi pembuatan akses jalan, pembangunan pagar di sekeliling kompleks candi, dan bangunan-bangunan seperti WC umum, tempat loket atau karcis, dan pos jaga.
Wisatawan yang berkunjung ke candi sukuh cukup beragam, dari luar negeri terdapat wisatawan mancanegara berasal dari jepang, korea, amerika, maupun turis yang berasal dari eropa. Sedangkan untuk wisatawan lokal, candi sukuh ini hanya menjadi sekedar tempat untuk “mampir”, karena tujuan wisata utama mereka adalah Tawangmangu dan air terjun Grojogan sewu.
Untuk masuk sukuh anda cukup merogoh kocek Rp 2.500 untuk wisatawan local dan Rp 10.000 untuk wisatawan mancanegara. Pengunjung biasanya ramai pada hari minggu atau hari libur nasional. Akan tetapi untuk saat ini relatif sepi, hal ini karena saat ini merupakan musim penghujan, apalagi beberapa waktu lalu tawangmangu baru saja mendapat bencana alam berupa tanah longsor.
Jadi, jika anda ingin piknik ke tawangmangu jangan lupa mampir di candi sukuh, untuk sekedar mengagumi bangunan bersejarah peninggalan majapahit atau jika anda ingin membuktikan sendiri kebenaran mitos yang ada di sekitar candi ini.

Sumber : www.news.uns.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar