Minggu, 10 Mei 2009

Jejak Negeri Sang Penakluk (1)

Mojokerto tak ubahnya ruang imajinasi, sebuah kerajaan besar yang nyaris tak lekang di makan jaman.

Dulu, ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa. Tak tahan menghadapi serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam, Si Petani mendapat wisik (wangsit, red) agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.

Sebuah keajaiban terjadi. Tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.

Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri batu candi dan meletakkannya di sudut-sudut sawah.

Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi. Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah. Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. "Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi," kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini.

Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914, candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro. Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang pada tikus.

Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan masuk dalam lobang dalam sebuah gundukan besar. Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo memilnta agar gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi. Melihat sejarah penemuannya, Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.

Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap demi setahap. Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga 1989. Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak berseberangan dengan tampilan asli.

Kini, masyarakat bisa melihat Candi Tikus sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika. Secara keseluruhan, candi ini lebih mirip dengan petirtaan. Bangunannya dibangun di atas tanah yang lebih rendah 3,5 meter dari tanah di sekitarnya. Untuk mendekati candi, kita harus melewati tangga masuk di sisi utara. Dari situ, kita bisa melihat candi berukuran 29,5X28,25 meter dan tinggi keseluruhan 5,2 meter ini dari dekat.

Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian ahli purbakala dari dalam dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin merangkai fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang menyebut, semua bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha abad 5-15 M adalah candi. Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi sebagai sarana pemujaan.

Sebagai bangunan berkarakter khas, Candi Tikus adalah icon yang berseberangan dengan teori itu. Karena Candi Tikus memiliki pancuran dan saluran air yang konon berperan besar sebagai pengatur debit air di Majapahit. Di luar itu, Candi Tikus juga memiliki daya tarik yang tak bisa lepas dari rangkaian situs Majapahit yang tersebar di Trowulan.


Dua Gapura
Tak jauh dari Candi Tikus, tepatnya di Dukuh Kraton, Desa Temon, terdapat Candi atau Gapura Bajangratu. Secara keseluruhan, gapura ini terbuat dari batu merah. Sedangkan ambang pintu dan lantai terbuat dari batu andesit. Dilihat dari bentuknya, gapura ini masuk dalam kelompok paduraksa atau gapura yang memiliki atap. Denah bangunan berbentuk segi empat berukuran 11,5X10,5 meter dan tinggi 16,5 meter. Sedangkan lebar lorong pintu masuk 1,4 meter.

Bila dilihat secara vertikal, Bajangratu dibagi menjadi tiga bagian. Yaitu kaki, tubuh dan atap. Selain itu, gapura mempunyai sayap dan pagar tembok di kedua sisinya. Di kaki gapura, ada hiasan yang menggambarkan cerita Sri Tandjung. Sedangkan di atas tubuh, ada hiasan kala dan sulur. Pada bagian atap, ada hiasan kepala kala yang diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepala garuda, dan relief bermata satu atau monocle cyclops. Di sayap kanan, ada relief cerita Ramayana dan pahatan binatang bertelinga panjang. Konon, relief-relief ini berfungsi sebagai penolak mara bahaya.

Konon, nama Bajangratu dikaitkan dengan keberadaan Prabu Jayanegara. Dalam wacana Jawa Kuno, bajang berarti kecil atau kerdil. Sehingga Bajangratu berarti orang yang naik tahta atau menjadi raja ketika masih kecil. Dalam catatan sejarah Majapahit, raja yang diangkat sejak masih kecil adalah Jayanegara.

Catatan yang di dapat Mossaik menyebutkan, gapura ini dibuat sebagai prasasti peringatan wafatnya Jayanegara pada tahun Saka 1250 atau tahun 1328 Masehi. Meski sejarah Jayanegara teraba dengan samar, keberadaan Gapura Bajangratu sebagai sisa peninggalan sejarah Majapahit sangat sulit dipungkiri. Bahkan ada yang menyebut, Bajangratu merupakan salah satu gapura kerajaan Majapahit.

Dalam versi yang lain, Bajangratu merupakan gapura ke dua setelah Gapura Wringin Lawang, yang terletak di Dukuh Wringin Lawang, Desa Jatipasar. Dalam tulisan Raffles, pada tahun 1815, gapura ini dikenal dengan sebutan Gapura Jati Paser. Baru pada tahun 1907, gapura ini mulai dikenal dengan nama Candi atau Gapura Wringin Lawang.

Nama Wringin Lawang diambil dari fakta yang ada di temuan awal. Dulu, gapura yang dibuat dari batu bata merah ini diapit oleh pohon beringin di sisi kiri dan kanan. Bangunan ini menghadap ke arah timur dan barat. Bangunan ini berukuran 13X11,5 meter dan tinggi 15,5 meter. Pemugaran gapura ini dilakukan pada tahun 1991 hingga 1995.

Berbeda dengan Bajangratu yang bergaya paduraksa, Wringin Lawang bergaya candi bentar. Artinya, candi yang tidak memiliki atap. Jika dilihat dari jauh, orang langsung bisa menebak, Wringin Lawang adalah gerbang keluar masuk dari tempat ke tempat lain. Konon, gapura ini merupakan pintu masuk tamu-tamu kerajaan yang ingin bertandang ke istana.

Sumber : www.etalasebumi.blogspot.com

1 komentar: